Saturday, June 27, 2015

Mereka yang Diperbolehkan untuk Berbuka Puasa di Bulan Ramadhan


Hukum puasa ramadhan adalah Wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat serta dalam keadaan sedang bermukim (tidak melakukan safar atau perjalanan jauh). Dalil mengenai wajibnya puasa Ramadhan adalah dari Firman Allah:
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:2)



Namun, perlu diketahui bahwa kewajiban berpuasa pada bulan ramadhan menjadi gugur bagi mereka yang terdapat ‘udzur atau halangan. Beberapa ‘udzur atau halangan yang diperbolehkan untuk berbuka puasa antara lain:

1. Orang yang Sakit
Allah berfirman:
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Para Ulama menegaskan bahwa tidak semua sakit bisa menjadi sebab seseorang berbuka atau membatalkan puasanya. Hal ini dikarenakan sakit yang dialami manusia berbeda-beda. 


2. Orang yang Bersafar
Dalil bahwa orang yang bersafar atau musafir boleh tidak berpuasa adalah sama dengan dalil mengenai orang yang sakit, yaitu firman Allah:
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Musafir punya pilihan untuk boleh berbuka/tidak berpuasa, ataukah tetap berpuasa.

Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah, mereka berkata:
Kami bersafar bersama Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak salimg mencela satu sama lainnya.” (HR. Muslim no 1117)

Namun manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa atau tidak, lihat Bersafar, Lebih Utama Berbuka atau Tetap Berpuasa.


3. Orang yang Sudah Tua
Berdasarkan ‘Ijma, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk berbuka dan tidak wajib untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah untuk diberikan pada orang-orang miskin.

Hal ini sesuai dalam firman Allah
…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) member makan seorang miskin...” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu (yaitu QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua yang tidak mampu menjalankan puasa lagi. Maka hendaklah menunaikan fidyah, yaitu member makan kepada orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan (tidak berpuasa).”


4. Wanita Hamil dan Menyusui
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An-Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29)

Asy Syairozi –salah seorang ulama Syafi’i- berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak berpuasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada 3 pendapat.” (Al Majmu’, 6: 177).


Demikianlah empat ‘udzur yang menggugurkan kewajiban puasa Ramadhan bagi orang-orang yang mengalaminya, berdasarkan ketentuan-ketentuan masing-masing.



Saturday, June 20, 2015

Puasakah Wanita Hamil atau Menyusui?


Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An-Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29)



Asy Syairozi –salah seorang ulama Syafi’i- berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak berpuasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada 3 pendapat.” (Al Majmu’, 6: 177)

Imam Nawawi berkata, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh berbuka/tidak berpuasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh berbuka/tidak berpuasa, namun tetap ada qadha’. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut madzhab Syafi’i.” (Al Majmu’, 6: 177)

Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang sakit). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikkan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain. Imam Ahmad sampai berkata’Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.” (Al Mughni, 4: 395)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” (syarhul Mumthi’, 6:350)
Pendapat qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho bin Abi Robbah dan Imam Abu Hanifah. (Al Majmu, 6: 178)

Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Puasakah Orang Sakit?


Sakit merupakan salah satu ‘udzur dalam menjalankan ibadah puasa.

Allah berfirman:
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)



Para Ulama menegaskan bahwa tidak semua sakit bisa menjadi sebab seseorang berbuka atau membatalkan puasanya. Hal ini dikarenakan sakit yang dialami manusia berbeda-beda.  

Menurut Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah, orang yang sakit ada dua macam yang dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, orang yang memiliki penyakit menahun (tahunan) dan tidak ada harapan untuk sembuh. Misalnya seseorang yang sakit menahun berupa kanker parah dan sudah tidak bisa disembuhkan lagi, maka orang tersebut tidak wajib berpuasa. Alasannya karena sangat kecil harapannya bagi dia untuk sembuh dari penyakitnya dan dia juga tidak sanggup untuk berpuasa karena sakit yang dideritanya.
Kewajiban orang ini adalah membayar fidyah, sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya.

Kedua, orang yang memiliki penyakit bukan menahun, melaihkan hanya sementara. Sakit semacam ini ada 3 keadaan sebagai berikut:
a. Dia masih mampu berpuasa dan penyakit yang dideritanya tidak memberatkan serta tidak memiliki banyak pengaruh bagi puasanya. Orang semacam ini wajib berpuasa karena tidak ada udzur baginya untuk meninggalkan puasa.
b. Dia mampu berpuasa, namun penyakit yang dideritanya akan sangat memberatkan dirinya walaupun tidak sampai membahayakannya. Puasa dalam kondisi ini hukumnya makruh, karena orang tersebut tetap berpuasa dan tidak mengambil keringanan dari Allah meskipun akhirnya penyakit yang dideritanya sangat memberatkan dirinya.
c. Penyakit yang dideritanya akan membahayakan dirinya saat berpuasa, misalnya sakitnya akan bertambah parah, ataupun bahkan bisa mengancam jiwa atau menyebabkan kematian. Orang dalam kondisi ini diharamkan untuk berpuasa karena akan membahayakan dirinya.

Allah berfiman:
Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha kasih kepada kalian.” (QS. An-Nisa; 29)

Firman Allah juga di ayat lain
Janganlah kalian melemparkan diri kalian pada kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah:159)

Apabila orang menderita penyakit yang ketiga tadi, maka dia wajib mengqadha’ sejumlah hari yang dia tinggalkan, setelah dia sembuh. Jika ternyata dia meninggal sebelum sembuh, maka dia gugur dari kewajiban qadha’, karena kewajiban qadha’ dilakukan pada saat orang yang sakit telah sembuh, sementara dia tidak mampu.


Bersafar, Lebih Utama Berbuka atau Tetap Puasa?


Dalil orang bersafar atau musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah:
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)



Musafir punya pilihan untuk boleh berbuka/tidak berpuasa, ataukah tetap berpuasa.
Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah, mereka berkata:
Kami bersafar bersama Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak salimg mencela satu sama lainnya.” (HR. Muslim no 1117)

Namun manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa atau tidak, bisa dilihat pada kondisi berikut ini:
a. Jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai amal kebaikan, maka lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban (tanpa qadha’, dimana beban kemudian muncul untuk menggantinya) dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak dari pada sendirian.
b. Jika berat untuk berpuasa dan sulit untuk melakukan amal-amal kebaikan, maka lebih utama untuk berbuka/tidak berpuasa.
c. Jika berpuasa malah membinasakan diri, maka wajib untuk berbuka/tidak berpuasa.
Firman Allah
Janganlah kalian melemparkan diri kalian pada kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah:159)


Beberapa pendapat menyatakan bahwa safar yang membolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89 km. safar ini, menurut Jumhur Ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia sudah berpuasa saat memulai perjalanan (perjalanan dimulai setelah subuh), maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Namun, jika ternyata tidak mampu melanjutkan puasanya karena perjalanan yang sangat melelahkan, maka boleh berbuka/membatalkan puasanya dan wajib mengqadha’nya.

Hal ini sebagaimana hadis riwayat Jabir bahwasanya Rasulullah berangkat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kura’ al-Ghamim (nama sebuah jurang di Asfan, dataran tinggi Madinah) Rasulullah masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpuasa. Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul.” Maka kemudian Rasulullah mengajak meminum air sehabis Ashar. Semua rombongan memperhatikan beliau, sehingga ada sebagian yang ikut membatalkan puasa dan sebagian lain masih terus melanjutkan puasanya.


Thursday, June 18, 2015

Membangunkan Orang untuk Sahur di Bulan Ramadhan


Ramadhan telah tiba, dan sebagai umat muslim kita diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa. Seperti biasa, pada bulan Ramadhan di akhir malam harinya terdapat waktu untuk melakukan sahur bagi yang hendak berpuasa agar dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik di siang harinya.



Dalil mengenai makan sahur adalah dari Al Qur’an dan Hadits, sebagai berikut:
 “Dan makan serta minumlah kamu sehingga jelas bagimu benang putih dari benang merah, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah:183)
Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah.” (Muttafaq alaihi dari Anas)


Cara membangunkan orang untuk sahur saat ini sangat beragam. Ada yang berteriak-teriak sahur-sahur; ada yang menggunakan kentongan, drum atau kaleng yang di tabuh; ada yang menyalakan murattal di masjid-masjid; dan ada juga yang malah menyetel lagu religi penuh musik yang justru mengotori masjid.

Namun demikian, cara-cara tersebut bukanlah cara yang disyariatkan oleh Islam. Justru cara-cara seperti teriak-teriak, menabuh kentongan, drum atau kaleng yang dilakukan sepanjang jalan akan sangat mengganggu orang yang sedang shalat malam tahajud atau orang yang sedang istirahat. Bukankah itu justru malah mendzalimi mereka..??

Sementara mereka yang menyalakan rekaman murattal di masjid-masjid, harus tahu hak-hak Al Qur’an ketika diperdengarkan
Apabila dibacakan Al Qur’an, perhatikanlah dan diamlah, agar kalian diberi rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)
Lalu bagaimana jika orang tersebut menyalakan murattal di masjid yang suaranya dapat didengar di seluruh kampung atau kota atau rw, sementara mereka yang mendengar justru tidak memperhatikan dan malah di tinggal tidur, atau kesibukan lain (semisal mempersiapkan sahur)?
Hal tersebut pernah terjadi di zaman sahabat. Ketika mereka tahajud dengan mengeraskan bacaan Al Qur’an, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena dianggap mengganggu.

Lalu bagaimana cara membangunkan orang untuk sahur yang benar..??

Cara yang paling benar adalah dengan apa yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah, yaitu dengan adzan awal.
Adzan pada masa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu pagi ada dua, yaitu
1. Adzan Awal, dilakukan sebelum fajar shodiq oleh Bilal bin Rabah.
2. Adzan Subuh, dilakukan setelah terbit fajar subuh oleh sahabat Abdullah bin Ummi Maktum.

Namun perlu diperhatikan bahwa jarak antara adzan awal dengan adzan subuh tidak terlalu jauh. Oleh karena itu, adzan bilal digunakan untuk mengakhiri sahur oleh para sahabat.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum subuh), untuk membangunkan orang yang tidur diantara kalian dan orang yang tahajud bisa kembali istirahat (untuk persiapan subuh).” (HR. Nasai, 2170)

Dalam riwayat yang lain:
Jangan sampai adzan Bilal membuat kalian untuk menghentikan makan sahurnya.” (HR. Bukhari, 7247)

Dalam riwayat yang lain:
Sesungguhnya Bilal melakukan adzan di malam hari (sebelum subuh). Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” (HR. Muslim, 1092)

Demikianlah cara membangunkan orang untuk sahur di bulan Ramadhan, yaitu dengan adzan dua kali yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda, agar orang bisa memperhatikan waktu sahur atau shalat malam.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Catatan Terbaru

Blogger templates