Wednesday, December 17, 2014
Larangan Berdebat dan Jidal Ahli Kalam
Sebelum kita menyimak apa yang dikatakan para ulama tentang perdebatan,
kita hendaknya meresapi kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ
تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ
لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan
karena mereka suka berjidal (debat untuk membantah)." Kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: "Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]” (HSR. At-Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad)
I. Perkataan Imam Asy-Syafii rahimahullah
1. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii
rahimahullah:
وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس
مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا
مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ
مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا
فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ .
Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang
berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata:
“Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama,
bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang.
Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”
2. Az-Za’faroni berkata: Aku mendengar Asy-Syafii rahimahullah berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَهْلَ الْكَلَام إلَّا مَرَّةً وَأَنَا أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذَلِكَ .
“Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan setelah itupun aku
beristighfar kepada Allah dari hal itu.”
3. Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata:
الْمِرَاءُ فِي الْعِلْمِ يُقَسِّي الْقُلُوبَ وَيُوَرِّثُ الضَّغَائِنَ .
“Berdebat dalam ilmu akan membuat keras hati dan mewariskan dendam.”
II. Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
1. Beliau berkata:
كُلَّمَا جَاءَ رَجُلٌ أَجْدَلُ مِنْ رَجُلٍ تَرَكْنَا مَا نَزَلَ بِهِ جِبْرِيلُ
عَلَى مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِجَدَلِهِ ، وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ :
{ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي } الْخَبَرُ .
“Apakah setiap datang seseorang yang lebih pandai berdebat dari orang
lain, kami akan meninggalkan wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam karena perdebatannya. Padahal Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam terlah bersabda: ‘Wajib kalian memegang teguh
sunnahku’.”
2. Abul Muzhaffar As-Sam’ani berkata dalam Kitab Al-Intishor Li Ahlil
Hadits: Imam Malik rahimahullah pernah ditanya siapa ahli bid’ah itu. Maka
beliau menjawab:
أَهْلُ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ
وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ ، وَلَا يَسْكُتُونَ عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ
وَالتَّابِعُونَ .
“Ahli Bid’ah adalah orang-orang yang berbicara tentang Nama-Nama Allah,
Sifat-Sifat-Nya, Kalamullah, Ilmu-Nya, dan Taqdir Allah, dan mereka tidak diam
dari perkara yang para shohabat dan tabiin diam darinya.”
3. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَيْسَ هَذَا الْجَدَلُ مِنْ الدِّينِ بِشَيْءٍ .
“Tidaklah jidal ini sedikitpun dari agama Islam.”
III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah
1. Abdus bin Malik Al-‘Aththar berkata: Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad
bin Hambal rahimahullah berkata:
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ
، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ ، وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ، وَالْجُلُوسِ مَعَ
أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ ، وَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ.وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ
... لَا تُخَاصِمْ أَحَدًا وَلَا تُنَاظِرْهُ ، وَلَا تَتَعَلَّمْ الْجِدَالَ فَإِنَّ
الْكَلَامَ فِي الْقَدَرِ وَالرُّؤْيَةِ وَالْقُرْآنِ وَغَيْرِهَا مِنْ السُّنَنِ مَكْرُوهٌ
مَنْهِيٌّ عَنْهُ لَا يَكُونُ صَاحِبُهُ إنْ أَصَابَ بِكَلَامِهِ السُّنَّةَ مِنْ أَهْلِ
السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الْجِدَالَ .
“Pokok-pokok aqidah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang
dipegang oleh para shohabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani
mereka, serta meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah itu sesat. Dan juga
untuk meninggalkan percekcokan dan duduk-duduk bersama ahlul ahwa, serta
meninggalkan perdebatan, jidal, dan percekcokan dalam agama ... Janganlah
engkau cekcok dengan seorangpun dan jangan mendebatnya. Janganlah engkau
mempelajari jidal, sesungguhnya ilmu kalam dalam aqidah seperti dalam masalah
taqdir, ru’yah (melihat Allah di hari kiamat), Al-Qur’an, dan lainnya adalah
dibenci dilarang. Tidaklah pelakunya walau dia mencocoki aqidah (yang benar)
dengan ilmu kalamnya menjadi ahlussunnah, sampai dia meninggalkan jidal.”
2. Al-‘Abbas bin Ghalib Al-Warroq berkata: Aku berkata kepada Ahmad bin
Hambal: Wahai Abu Abdillah, aku duduk dalam satu majlis yang tidak ada yang
mengetahui sunnah selainku. Kemudian ada seorang ahli kalam ahli bid’ah
berbicara, apakah aku bantah dia?” Beliau menjawab: “Jangan engkau dudukkan
dirimu untuk demikian ini. Beritahu kepadanya sunnah dan jangan berdebat.”
Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi, sampai beliau berkata: “Aku tidak
memandangmu kecuali seorang yang suka membantah.”
IV. Perkataan para ulama yang lain
1. Al-Auza’i rahimahullah berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ ، وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ
الرِّجَالِ ، وَإِنْ زَخْرَفُوا لَك الْقَوْلَ ، فَلْيَحْذَرْ كُلُّ مَسْئُولٍ وَمُنَاظِرٍ
مِنْ الدُّخُولِ فِيمَا يُنْكِرُهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ .وَلْيَجْتَهِدْ فِي اتِّبَاعِ
السُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ الْمُحْدَثَاتِ كَمَا أُمِرَ .
“Wajib kamu memegang atsar salaf (yang telah mendahului), meskipun
orang-orang menolakmu. Dan hati-hati kamu dari ro’yu (logika) orang-orang,
meskipun orang-orang menghiasi perkataan itu untukmu. Maka hendaklah setiap
orang yang ditanya dan yang mendebat hati-hati dari masuk ke dalam perkara yang
menyebabkan dia diingkari oleh yang lainnya. Dan bersungguh-sungguhlah dalam
ittiba’ (mengikuti) sunnah dan menjauhi perkara-perkara baru sebagaimana
diperintahkan.”
2. Al-Auza’i rahimahullah juga pernah berkata
إذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَوْمٍ شَرًّا فَتَحَ عَلَيْهِمْ الْجِدَالَ،
وَمَنَعَهُمْ الْعَمَلَ .
“Jika Allah menginginkan kejelekan pada satu kaum, maka Allah akan
membuka atas mereka jidal, dan menghalangi mereka dari beramal.”
2. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah seorang tabiin pernah ditanya: “Apakah
engkau berjidal?” Dia menjawab:
لَسْتُ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي
“Aku tidak ragu dengan agamaku, (kenapa aku berjidal)?”
3. Seseorang (yang mau mendebat) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani
rahimahullah: “Bolehkah aku mengatakan kepadamu satu kata saja?” Ayyub
rahimahullah menjawab:
لَا وَلَا بِنِصْفِ كَلِمَةٍ .
“Tidak, dan tidak pula walaupun setengah kata.”
Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama
1. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata
: “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”..
Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya
mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat
meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan
berubah menuju kebaikan.”
Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar
menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini
adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta
orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam
(memiliki bashirah). Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu
perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang
telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari
saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu
dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus
tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya
biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah
ucapannya yang rusak tersebut?”
Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku –semoga Allah
merahmatimu–. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini
tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :
Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan
kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap istiqamah
hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka
dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat
lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang menimpanya
itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang menginginkan bimbingan
lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya dan mencari obat untuk
mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan ketaatannya dan aman dari
penentangannya maka orang yang seperti inilah yang wajib bagimu menghentikannya
dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya
bekalmu membimbing dan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As
Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan
tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah
(nasihat) yang baik. Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan)
terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan
berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini adalah
bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As Sunnah. Karena
keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan yang Haq merupakan
kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi tidak dengan tuntunan As
Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan
sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu.
Maka sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh orang yang menipu dirinya
sendiri. Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia
tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah
kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan
siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah
2/540-541 nomor 679)
2. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang
menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan bantahan
terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah mereka maka
Imam Ahmad membalasnya :
“Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang
tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan
dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk
bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah). Bahwasanya
perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang
diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka
karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu)
sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat –Insya Allah–
adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama
mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang
bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada
masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk
dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan
karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti
ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi
perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia
dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu. Dan yang lebih
berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab
yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan
bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon
kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al
Ibanah 2/471-472 nomor 481)
3. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia
adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah
62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)
4. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb
mengatakan :
“Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena
sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu
seorang yang lebih (berilmu) alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah
dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih
alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih
bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian
atasmu.” (Asy Syari’ah 64)
5. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin
Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul
Huriyyah menyusulnya ia diduga seorang Murjiah katanya :
“Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu.
Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata
: “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang
seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu
menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :
“Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu agama
ke agama yang lain.” (Ibid 62)
6. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata : Jika ada yang berkata : “Apabila
seseorang telah diberi ilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang
mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya.
Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah
dan dibantah ucapannya?”
Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah
yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita
perbuat?”
Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan
untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka
tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As
Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun jika ia
ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama
untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya
dalam agamamu.”
Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara
dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”
Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan
mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka
daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus
Shalih.”
Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari
kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal
bin Furaihan Al Haritsi.
Kenapa Salafi tidak Mencontoh Ibnu Abbas dalam Mendebat Khowarij?
Ada subhat pertanyaan:
Yg ana sesalkan knp asatidz dr salafi tidak berani diskusi terbuka dg org
yg mrk tuduh khowarij ?. Bukankah salaf kt yaitu ibnu abbas mencontohkan kpd kt
yaitu, melakukan debat terbuka dg khowarij. Lah ? Ini mah nuduh dulu. Pas
diajak mencontoh ibnu abas tdk berani. Pdhl ibnu abbas itu nyamperin khowarij
lho ?. jd kl mau ikut salaf yg konsisten dong. Buku syubhat salafi, salah
kaprah salafi, salafi penghianat salafusholeh dan bahaya penyimpangan neo
murjiah sudah ada. Tp sampai detik ini tidak ada satupun asatidz dari salafi yg
menantang debat terbuka atau bedah buku tsb didepan publik. Alasannya mrk
berdalih ngapain debat dg ahli bidah ? Lah ? Bknnya khowarij itu ahli bidah ?.
Knp bisa dan beraninya cm diblog atau dunia maya ?...siapa salaf yg kalian
contoh ?. Ana harap komentar ana ini dimuat kalo kt mau mencari kebnran bkn
pembenaran.
Dijawab oleh Abul Jauzaa:
Memang, itu yang patut Anda sesalkan. Maksudnya, sesalilah pemahaman
sempit Anda.
Dikarenakan saya bukan perwakilan resmi asatidzah salafiy, maka perkataan
saya di sini tidak boleh dianggap sebagai statement resmi asatidzah salafiy.
Ini hanya sekedar argumentasi pribadi saja.
Metode debat itu bukan metode yang berlaku umum. Kalau Anda mengaku
berdalil dengan perbuatan Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa, sebenarnya Anda
sedang tidak berdalil dengannya - sebagaimana yang Anda sangka.
Mengapa Anda tidak bertanya pada diri Anda sendiri : Mengapa 'Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu tidak mengajak debat orang-orang Khawarij itu
pada kali pertama?.
Dilihat dari kapasitas ilmu dan keutamaan, 'Aliy jelas tidak lebih rendah
dari Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu. Bahkan, ketika Ibnu 'Abbaas hendak
berangkat menemui orang-orang Khawaarij, 'Aliy sempat mencegahnya karena
khawatir akan keselamatannya.
Apakah menurut Anda ketika ada nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus shahabat untuk berdebat
secara terbuka dengannya ?.
Apakah menurut Anda ketika paham Qadariyyah muncul di jaman Ibnu 'Umar
(sebagaimana ada dalam hadits Jibril), Ibnu 'Umar bergegas menantang debat
dengan orang-orang Qadariyyah itu ?.
Apakah menurut Anda semua ulama shahabat, taabi'iin, dan
atbaa'ut-taabi'iin melakukan debat terbuka dengan ahli bid'ah ?. Bukankah
mereka itu salaf kita, seperti kata Anda ?.
Bahkan, kalau Anda sering baca kitab ulama, mereka menjauhi debat dalam
agama, debat dengan ahlul-bid'ah, debat dengan orang keras kepala, dan yang
lainnya.
Debat secara langsung itu selain membutuhkan ilmu, juga membutuhkan
kepandaian berbicara. Betapa banyak orang yang berilmu dan berada di atas
kebenaran kalah dalam media perdebatan karena kalah kepandaian bicara dengan
lawan debatnya ?.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم : إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ
يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ,
مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ
قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ
Dari Ummu Salamah radliyallaahu 'anhaa, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya kalian
senantiasa mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih
pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya
seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya
sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong
api neraka untuknya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169 dan Muslim
no. 1713].
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment